Akhmad Sahal; Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika Ada satu hadits bernada murung yang cukup populer di kalangan kaum musli...
Akhmad Sahal; Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika
sisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap sebagai kafir.” Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang. ////Dimuat di KORAN TEMPO, 3/8/2011///
Ada satu hadits bernada murung yang cukup populer di kalangan kaum muslim:
“umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan
hanya satu dari mereka yang selamat.”
Ramalan Nabi dalam hadits tersebut terasa murung bukan hanya karena perpecahan
umat ke dalam beragam aliran digambarkan sebagai sesuatu yang tak terelakkan,
melainkan juga karena sebagian besar dari mereka oleh hadits tersebut divonis
sesat dan bakal masuk neraka. Hanya satu
kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga. Dalam hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa satu kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai satu-
satunya kelompok yang selamat.
kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga. Dalam hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa satu kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai satu-
satunya kelompok yang selamat.
Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain.
Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam, di mana aliran-aliran yang
saling bertikai kerap melempar tuduhan kafir satu sama lain.
Yang paling terkenal adalah sekte khawarij yang mengaku sebagai para pembela
Islam yang hendak menegakkan kedaulatan hukum Allah (dengan slogannya la hukma
illa lillah-tidak ada hukum kecuali hukum Allah), tapi ujung-ujungnya
mengkafirkan kubu Ali bin Abu Thalib maupun kubu Mu'awiyah bin Abu Sufyan yang
terlibat dalam Perang Shiffin, yang berarti mengkafirkan mayoritas sahabat
Nabi.
Di mata kaum khawarij, kedua kubu tesrebut telah keluar dari Islam karena
menempuh arbitrase demi mengakhiri perang saudara di antara mereka. Dan
arbitrase (tahkim) semacam ini dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan
manusia, bukan aturan Allah, suatu bentuk
kekufuran di mata kaum khawarij.
kekufuran di mata kaum khawarij.
Di masa sekarang, kaum Wahhabi tak segan-segan menuduh muslim lain yang
tidak mengikuti ajaran tauhid mereka sebagai telah jatuh dalam kemusyrikan. Singkat
kata, ramalan Nabi dalam hadits di atas secara selintas justru terkesan menjadi
dalil pembenar bagi intoleransi antar sesama muslim
dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul kesan selintas ini?
dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul kesan selintas ini?
Kalau yang kita tanya Imam al-Ghazali, barangkali ia akan dengan tegas
menjawab tidak betul. Dalam traktat tipisnya, Faysal al Tafriqah baina al-Muslim
wa al-Zandaqoh, Al-Ghazali membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan di atas
menyuburkan intoleransi dan eksklusivisme dalam
berislam dengan sejumlah alasan:
berislam dengan sejumlah alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam
yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung
masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim
lain mungkin perlu melewati fase “pencucian”
dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga.
dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga.
Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya
akan terselamatkan semua di akhirat. Alasan kedua, hadits di atas bukanlah
satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru
bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya
begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
Al-Ghazali selanjutnya berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan
sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai
Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa
disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan
di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar
cabang-cabang agama (furu’), yang apabila seorang muslim menyangkalnya
sekalipun tidak
menjadikannya kafir.
menjadikannya kafir.
Al-Ghazali di sini sebenarnya hendak mengatakan bahwa hampir semua pertikaian
pendapat dalam soal-soal teologi antara kaum mu’tazilah yang rasionalis versus
ahlul hadits yang tesktualis, atau antara kaum Sunni dan Syi’ah, adalah
pertikaian soal-soal sekunder yang masih dalam koridor
keIslaman.
keIslaman.
Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut tidak menjadikan mereka
sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar ranah toleransinya, apalagi
dalam soal syari’ah dan fiqh. Pandangan Al-Ghazali ini menarik karena ia membalikkan
nada murung ramalan Nabi dalam hadits di atas menjadi lebih rileks dan cerah. Keragaman
aliran Islam diterima sebagai rahmat, bukan kutukan. Selama mereka masih
percaya pada tiga pilar iman di atas, maka silang pendapat di antara mereka
tidak akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran.
Spirit toleransi yang disuarakan Al-Ghazali ini
tampaknya diamini dan bahkan diperluas oleh Muhammad Abduh. Abduh menulis dalam
kitabnya Al-Islam wa al-Nashraniyyah: “apabila seorang muslim menyatakan satu pendapat
yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satusisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap sebagai kafir.” Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang. ////Dimuat di KORAN TEMPO, 3/8/2011///
COMMENTS